Tung Tong Kelintang
Kuala Patah Parang
Sesaat tiba, Nek Majene, wanita berusia 78, langsung duduk di depan
perangkat kelintang tua dan serta-merta menalu-nalu cembul besi itu satu
per satu, tong-tung.. tong tung... “Yang satu ini sumbang,” katanya
seraya mengarahkan mukanya pada satu cembul kulintang yang sudah
berlubang. Padahal telinganya sudah tidak begitu mendengar lagi.
Oleh: Mosthamir Thalib
PERMAINAN kelintang tua tujuh nada peninggalan sebelum zaman Panglima
Reteh Tengku Sulung (1858 M) ini dimainkan Nek Majene bersama
wanita-wanita tua lainnya di Kuala Patah Parang, Indragiri Hilir
(Inhil), di depan Tim Pencari Jejak Melayu Timur Iranun – di sini
disebut Melayu Timur, yang datang dari Kota Belut, Sabah, Malaysia, yang
zaman kerajaan Melayu dulu disebut Tempasuk. Alat-alat musik
tradisional ini sendiri merupakan barang-barang lama yang dibawa dari
negeri puak orang Mindanao (1787).
Tim yang terdiri dari Ketua
Mahkamah Anak Negeri Sabah OKK (Orang Kaya-Kaya) Haji Masrin Haji
Hassin, Abd Naddin Sahaddin dan Madin Sumalah setiba di Riau (12/11)
dari Kuala Lumpur langsung dijamu Bupati Inhil HM Wardan yang berada di
Pekanbaru. “Saya juga punya darah keturunan Melayu Timur. Dari sebelah
nenek saya,” ujar putra Indragiri Selatan itu dalam pertemuan tersebut.
Bersama Kepala Dispora Budpar Inhil Junaidi dan didampingi dua seniman
budayawan Riau Kazzaini Ks dan Mosthamir Thalib, langsung pula
meneruskan perjalanan ke Tembilahan pada hari itu juga. Di Inhil pula,
tim disambut oleh Ketua MKA LAM Inhil, Datuk Syamsuri Latif, di Wisma
Pancang Jermal Parit 10 Tembilahan.
“Alhamdulillah.. Misi ini
sangat memuaskan,” kata Haji Masrin Haji Hassin. Kepuasannya itu
diungkapkannya sehalaman penuh pada Harian Borneo Pos yang terbit
(20/11) di Sabah, Malaysia Timur, bertajuk Misi Mencari Iranun di Reteh
Berhasil. Dia menyatakan rasa syukur yang dalam. “Banyak sekali maklumat
dari temuan dan dari pertemuan demi pertemuan di Indragiri.”
Kampilan.
Sebelum ke Kuala Patah Parang – sebuah desa di Kecamatan Enok yang
penduduknya mayoritas Melayu Timur, tim ini juga sempat mengunjungi
Pulau Kijang, Kecamatan Reteh. Bertemu dengan sejumlah tokoh Melayu
Timur, antaranya Oteh Majemuk dari Sungai Undan, yang juga merupakan
Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau Kecamatan Reteh, Inhil, di Pulau
Kijang.
Tokoh-tokoh yang berkumpul di rumah Marjuni, seorang
warga keturunan Melayu Timur, sekitar 20-an orang. Mereka membawa
sejumlah bukti barang pusaka warisan Melayu Timur, termasuk peralatan
adat yang selalu digunakan orang Melayu Timur. Barang-barang pusaka itu
antaranya berupa senjata kampilan – senjata khas Melayu Timur, skin, dan
sundang.
“Ini sah peralatan perang orang Iranun,” kata Naddin, seraya memegang sebilah kampilan.
Kampilan serupa pedang. Panjang kampilan yang diperlihatkan beragam,
antara 60 cm sampai 80 cm. Bagian atas ujungnya sedikit bercabang
seperti pial atau jeger kepala ayam. Ulunya berukir kepala naga dengan
umbai-umbai rambut atau bulu binatang.
Selain senjata tajam, di
Pulau Kijang ini, seorang keturunan Melayu Timur, Ahmad Mustafa dari
Kotabaru, memperlihatkan bisluit (SK) Raja Kerajaan Riau-Lingga,
pengangkatan Tengku Ismail, sebagai penguasa Reteh.
Selepas Pulau
Kijang Kecamatan Reteh, yang bersempadan dengan Kabupaten Tanjung
Jabung Timur, Provinsi Jambi, dengan speed boat, tim berbalik arah balik
ke Tembilahan dan singgah di Kuala Patah Parang. Inilah tempat tujuan
lebih khusus itu. Sebuah desa yang penduduknya mayoritas suku Melayu
Timur. Selain di Kuala Patah Parang Luar – sebagai nelayan - ini,
komunitas Melayu Timur juga berdomisili di Kuala Parat Parah Dalam,
berkebun.
Setelah salat Asyar di masjid di hilir Kuala Patah
Parang yang banyak Suku Laut (Duanu) berdomisili, tim beranjak ke hulu.
Menambatkan speed boat di sebuah ujung pelantar jerambah kayu. Di
beberapa tempat di hamparan jerambah itu tampak beberapa hasil tangkapan
dari laut dijemur untuk dikeringkan. Udang dan ikan. Selain itu tampak
juga belacan, yang memerah dijemur di panas “hari”, hasil olahan
penduduk setempat.
Di sini tim diterima imam surau Muhammad Ali
Sapar – yang biasa dipanggil orang kampung dengan Cik Li. Masih muda.
Tim diterima masuk di sebuah rumah yang sangat sederhana. Rumah panggung
bertongkat kayu seadanya di atas dataran lumpur yang agak tinggi dari
pantai lumpur. Berdinding papan-papan lama. Nyaris tidak ada daun
tingkap. Sehingga angin laut pesisir pantai timur Sumatera bebas bertiup
keluar-masuk.
Di rumah berukuran sekitar 4 x 6 meter itu tim
duduk bersila di lantai bersama tuan rumah dan orang yang paling
dituakan, Nurdin bin Syahjohan atau Long No (75) – sapaan orang-orang
kampung padanya. Ketokohannya malah sampai di sekitar kawasan Indragiri
Hilir bagian Selatan lainnya. Dalam sekejab saja, sudah ramai
orang-orang berhimpun di dalam rumah Cik Li.
Long No segera
menyuruh beberapa orang mengambil alat-alat musik kelintang peninggalan
pengikut Raja Ismail yang dibawa dari Tempasuk pada tahun 1787. Satu
perangkat kelintang tujuh nada dengan tiga gendang. Nek Majene yang
lebih dulu datang langsung mengambil posisi di depan kelintang tua.
Meminta kayu penalu pada tuan rumah, dan langsung memukul-mukul
cembul-cembul kulintang itu.
Tidak lama berselang muncul pula
beberapa wanita tua lainnya, pemain grup kelintang ini. Siti Aminah
binti Hamid, berusia 70-an - memainkan gendang, Semah binti Ketik - usia
90-an, juga memainkan gendang lainnya, dibantu Cik Li atau Muhammadi
Ali Sapar yang menalu gong. Madin Sumalah pun ikut bermain, memainkan
gendang yang paling besar.
Ada beberapa lagu khas musik
tradisional kelintang yang dibawa dari negeri leluhurnya ini. Antaranya
Serama, Andok-andok, Kudidi – yang terakhir di Indragiri menjadi Kedidi –
nama burung. Menurut Sulaiman Merawi, seorang pemuda sana, ada sekitar
belasan rentak kelintang yang ada di Patah Parang dan sekitarnya
antaranya Anduk-anduk, Anduk-anduk Selor, Kedidi, Kedincing, Serame,
Serame 2, Serame 3, Serame Jawa, Serama Angin, Cak Pumpung, Gubang
Gubang, Gubang Gubang Kayoh, Kisak-kisak, Janda Ngagek Terong,
Kedungkok, Tepai Begelot. Sendayung “Semua jenis rentak tersebut orang
tetua yang pandai memainkannya,” kata Sulaiman.
Tidak ada
regenerasi. Itulah yang terungkap dari penelusuran jejak Iranun ini,
khususnya pada permainan kelintang. “Ini yang membuat kita sedih.
Generasi muda tak ramai lagi yang tahu. Sementara Nek Uda Jena sudah 78
tahun. Kelintang itu pula, itulah satu-satunya. Sesuatu perlu dibuat
untuk menyelematkan kesenian ini yang hampir pupus sebelum ia tenggelam
dan dihanyutkan oleh sungai sejarah,” ujar Naddin
Itu pulalah
sebab Sulaiman yang kini merantau ke Karimun berharap, kunjungan dari
Sabah Malaysia ini bisa membangkitkan dan membakar semangat kaum muda
untuk mempelajarinya. “Apalagi bila dapat sokongan pemerintah,”
tambahnya. Kunjungan ke Pulau Kijang dan Kuala Patah Parang ini memang
disertai pendamping dari Dinas Pariwisata Inhil, Raja Indra Maulana dan
Haji Ahmady.
Pembakar Semangat
Menurut catatan di Tuhfat
Al Nafis, dulu Raja Ismail datang ke kawasan Riau-Johor dengan sekitar
40 perahu penjajab. Dengan jumlah pasukan seluruhnya sekitar 1000 orang.
Setiap penjajab dilengkapi seperangkat alat kelintang. Selalu dimainkan
ketika angin tenang dan para prajurit mengayuh-ngayuh kapal
penjajabnya. “Jadi fungsinya seperti alat pembakar semangat para
prajurit,” kata Naddin.
Ketika berlayar menuju ke Kerajaan
Riau-Lingga, menurut Naddin, kelintang yang dibawa sekitar 30 sampai 40
buah, sama dengan jumlah penjajabnya. Sekarang yang baru ditemukan
sekitar lima buah. Dua di Patah Parang Dalam dan Patah Parang Luar. Dua
di Reteh. Satu buah yang berasal dari Reteh dibawa ke Tanjung Uban,
Kepulauan Riau. “Jadi masih ada sekitar 15 sampai 20 buah belum
diketahui di mana keberadaannya.”
Selain kelintang, di Kuala
Patah parang juga ditemui peralatan senjata tajam, seperti kampilan.
Yang lainnya adalah pemanai, yaitu sejenis selayar atau umbul-umbul
warna merah putih yang biasa digunakan untuk perhelatan pesta
pernikahan. Beberapa kosakata Melayu Iranun pun masih dipakai, baik di
Pulau Kijang maupun di Kuala Patah Parang. Seperti kata tunung
(menyelap), betapok (berdiam), degan (banjir), dan sejumlah kata
lainnya.
Di Inhil dan sekitarnya, komunitas orang-orang yang
datang dari Tempasuk ini disebut Melayu Timur. Mereka tidak disebut
“suku lanun” karena kesannya negatif. Suka merompak di laut. Nama Melayu
Timur terkesan lebih memberikan kharisma. Ketika diminta tanggapan oleh
Naddin, apa yang dimaksud “timur” di ujung kata Melayu itu, di antara
mereka ada yang beranggapan mereka datang dari Pulau Penyengat – pusat
kerajaan Melayu Riau-Johor-Pahang. “Karena Pulau Penyengat berada di
Timur,” kata Ahmad Mustafa, keturunan Melayu Timur yang berdomisili di
Kotabaru Keritang.
Abd Naddin menjelaskan, orang-orang Melayu
Timur di Reteh dan Kuala Patah Parang memang suku yang sama dengan
mereka, Yaitu, suku Iranun. “Bukan Lanun. Lanun itu penjajah yang
memberi nama dan memberikan nilai negatif pada nama itu. Irranum itu
maknanya kasih-sayang.”
Para Iranun yang ada di Indragiri sampai
ke kawasan Jambi adalah pasukan perang yang datang bersama Raja Ismail
dari Kerajaan Tempasuk, Sabah, tahun 1787. Mereka datang ke kawasan ini
atas permintaan Sultan Johor, Sultan Mahmud Riayat Syah atau Sultan
Mahmudsyah III, untuk menyerang Belanda di Tanjungpinang, yang
mendudukkan residennya di sana. Dalam peperangan ini Raja Ismail bersama
Sultan Mahmud Riayat Syah berhasil mengalahkan Belanda dan menghalau
Rasiden Belanda, David Ruhde, dari Tanjungpinang pada 13 Mei 1787,
dengan pakaian sehelai sepinggang.
Setelah perang, sebagian
pengikut Raja Ismail ini pulang ke Tempasuk dan sebagian lainnya tetap
tinggal di kawasan Kerajaan Riau-Lingga. Membuka negeri baru di Sungai
Reteh. Negeri pertama yang dibuka Kotabaru Reteh. Kemudian Pulau Kijang,
Benteng, dan Kuala Patah Parang. Menurut sumber di Pulau Kijang ini,
Tengku Ismail yang membuka Kotabaru mempunyai keturunan Tuk Muda Tahir,
Tuk Yakup, dan Tuk Naini. Nama yang terakhir ini, Tuk Naini, yang
membuka negeri Pulau Kijang. Sedangkan Negeri Benteng dibuka oleh Tengku
Sulung semasa perang melawan Belanda.
Nama besar lain selain
Raja Ismail dan Tengku Sulung dari kalangan Melayu Timur ini adalah
Syahbuddin. Buyutnya Long No atau Nurdin. Malah orang tua yang terlihat
masih segar walau usia sudah 75 tahunan ini dapat meruntut silsilahnya
dari bawah sampai ke atas, mulai darinya sendiri, Nurdin bin Syahjohan,
Syahjohan bin Alamsyah, Alamsyah bin Syahlawan, dan Syahlawan bin
Syahbuddin. Orang yang bernama Syahbuddin ini kemudian balik ke negeri
Tempasuk. “Dia cakap balik kampung. Kami tidak tahu dulu di mana kampung
yang dia maksud. Yang jelas di Timur,” kata Long No.
Konsisten Menantang Penjajah
Ketika Tengku Sulung menantang Belanda, setelah Belanda memakzulkan
Sultan Riau-Lingga Sultan Abdurrahman Muazam Syah II, orang-orang Melayu
Timur inilah dengan kampilan-kampilan mereka berperang melawan Belanda.
Mereka sangat mahir bergerilya di padang lumpur dan menyelinap masuk
suak-rawang dan meniti melompat-lompat di akar-akar tunjang hutan bakau
(mangrove).
Kemahiran serupa dimiliki juga Letnan Boyak, seorang
pejuang kemerdekaan keturunan Melayu Timur di Indragiri. Saudara kandung
seniman terkenal Idrus Tintin ini dulu juga sangat ditakuti Belanda.
Namanya bergaung di mana-mana dan dia bersama pasukannya bisa muncul di
mana saja ketika mengejar musuh melintasi hutan rimba Indragiri.
Nasibnya kemudian sama dengan Tengku Sulung. Peluru Belanda menembusi
tubuhnya. Juga di kawasan pesisir pantai Indragiri Selatan. Di padang
lumpur. Hanya tipu-muslihat penjajah dan pengkhianatan sesama anak
bangsa - yang gampang termakan umpan - yang mempan menggugurkan mereka.
UU Hamidy, budayawan Riau yang banyak meneliti sejarah dan budaya
Melayu - menjuluki, Iranun ini Mujahiddin Nusantara Sejati. Mereka
konsisten dan tanpa kompromi melakukan perlawanan terhadap penjajah di
bumi nusantara mana saja. Mulai dari Filipina, Malaya, sampai Indonesia.
Di Filipina mereka berperang dengan Spanyol. Di Malaysia mereka
berperang dengan Inggris, dan di Indonesia mereka berperang melawan
Belanda.
Sekarang Melayu yang berasal dari Reteh ini sudah
menyebar ke banyak daerah lainnya di pesisir pantai timur. Antaranya
Tanjung Jabung, Sabak, Kuala Tungkal dan daerah Jambi lainnya. Sama
dengan Bupati Inhil HM Wardan yang punya darah keturunan Melayu Timur,
bupati pertama kabupaten pemekaran Tanjung Jabung Timur juga keturunan
Melayu Timur. Begitu pula beberapa orang pemimpin daerah itu lainnya.
Air laut semakin surut. Tidak terasa bincang-bincang Tim Pencari Jejak
Irnun dengan keturunan Melayu Timur di Kuala Patah Parang sudah memakan
waktu. Tekong speed boat tampak mulai kusut. “Air laut sudah jauh
surut,” katanya, “Nanti boat kita tersadai di beting laut.”
Tim
bersama rombongan lalu bergegas. Meninggalkan percakapan yang belum
puas. Ketika pergi pagi harinya ke Pulau Kijang air baru pasang. Ketika
pulang air surut sudah meninggalkan tongkat-tongkat sebagian rumah
orang-orang di Kuala Patah Parang. Ketika meninggalkan Kuala Patah
Parang dan menuju ke Kuala Enok, speed boat pun tidak bisa lagi
menyusuri tepian bakau sebagaimana datang waktu pagi harinya.
Beting-beting lumpur sudah muncul. Jauh melandai ke tengah laut.
Warnanya putih keabu-abuan. Sewarna dengan air lautnya. Hanya
bangau-bangau putih yang tengah berjalan-jalan - sedang mencari makan,
menangkup anak-anak ikan, yang menandai itu beting.
Speed boat
terpaksa mengambil alur jauh ke tengah, Semakin surut air, semakin jauh
meninggalkan tepi. Bila salah mengikuti alur di air tepian laut yang
keruh ini bisa membuat perahu apa saja tersadai di pantai. Apabila
tersadai, maka ber-tapok-lah.. di sana, di tengah-tengah, di antara
lautan dan daratan selama menunggu air pasang kembali.
Dari Kuala
Patah Parang memang tampak laut lepas. Namun tidak setiap waktu
orang-orang di sini boleh bebas. Melaut ke laut lepas. Apatah lagi bila
surut timpas.***